MEMILIH WANITA SHALIHAH SEBAGAI ORANG TUA ANAK
Salah satu faktor terpenting yang membantu dalam mendidik anaknya adalah istri shalihah. Yaitu wanita yang dapat memahami serta mampu melaksanakan peran dan fungsinya sebagai seorang istri. Hal ini harus dipahami betul oleh setiap penyeru islam. Upaya pertama yang harus menjadi fokus adalah rumah, kemudian istri yang kemudian menjadi ibu, lalu anak-anak dan keluarga secara umum. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius memilih wanita muslimah untuk membangun rumah tangga muslim. Orang yang hendak membangun keluarga muslim terlebih dahulu haruslah mencari istri yang muslimah.
Wanita terbaik yang bisa dinikahi adalah wanita yang beragama, berkarakter shalihah, bertaqwa beriman[1] dan bertaubat kepada Allah swt. Wanita yang semacam ini akan dapat menyenangkan hati, bisa dipercaya untuk menjaga diri dan menjaga harta suaminya serta mampu mendidik anak-anaknya. Disamping dapat menyuapi dan memberi minum anak-anaknya, istri juga dapat memberikan santapan iman dan memberikan minuman dengan prinsip-prinsip terbaik. Ia akan memperdengarkan kepada anak-anaknya untaian dzikir dan shalawat kepada nabi-Nya yang akan menanamkan ketakwaan pada dada mereka serta semakin menguatkan kecintaan mereka kepada islam. Seorang anak akan tumbuh menurut apa yang diberikan padanya (didikannya). Sifat dari kedua orang tuanya akan menurun kepada mereka.
Terdapat petunjuk nabi akan hal itu, yaitu dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Adiy dan Ibnu Asakir dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda:
إِخْتاَرُوْا لِنُتْفِكُمْ اَلْمَوَاضِعَ الصَّالِحَةَ.
Artinya: “Pilihlah tempat-tempat yang baik untuk menyemaikan nutfah kalian”
Diantara hak suami adalah mencari wanita yang cerdas dan pandai untuk dijadikan sebagai istri. Karena hal ini akan membantu dalam mengurus rumah dan dalam mendidik anak-anaknya dengan baik. Wanita juga punya hak untuk belajar berbagai bidang ilmu dengan cara yang sesuai dengan tabiat kesempurnaannya.
Bahkan Al-Mawardi menganggap bahwa memilih istri merupakan hak anak atas ayahya dengan mengutip pendapat Umar bin Khattab yang mengatakan bahwa: “Hak seorang anak yang pertama-tama adalah mendapatkan seorang ibu yang sesuai dengan pilihannya, memilih wanita yang akan melahirkannya. Yaitu seorang wanita yang mempunyai kecantikan, mulia, beragama, menjaga kesuciannya, pandai mengatur urusan rumah tangga, berakhlak baik, mempunyai mentalitas yang baik dan sempurna serta mematuhi suaminya dalam segala keadaan”[2]
Kriteria suami dan istri yang ideal
Salah satu unsur penting pembentuk rumah tangga islami adalah suami. Allah swt telah memberikan posisi qawwam (kepemimpinan) kepadanya, karena beberapa kelebihan yang diberikan, firman Allah swt:
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka...” (QS. An-Nisa: 34)
Lantaran posisi kepemimpinan ini, maka ia wajib memberika keteladanan yang baik bagi seluruh anggota keluarga. Ia harus memulai pembinaan bagi dirinya sendiri, sebelum melakukan dan memerintahkan kepada yang lain. Hendaknya para suami takut akan peringatan Allah swt: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash-Shaf: 3).
Syaikh Muhammad Utsman Al-Khusyt menyebutkan beberapa karakter suami ideal, antara lain:
1. Suami yang sengaja sejak awal telah menunjukkan kejujuran dan sikap terus terang. Kelemahan dan kekurangan yang dimiliki tidak disembunyikan sejak melamar.
2. Suami yang menggauli istrinya dengan baik, lembut, memuliakan, dan menerima kelebihan maupun kekurangan keluarga istrinya.
3. Suami yang mampu menghibur dan bersikap lembut terhadap istri. Ia berkata dengan bahasa yang menarik, mau mengerti dan mendengar perkataan istri jika memang pendapatnya logis.
4. Suami yang tidak terlalu pencemburu, tidak mengumbar prasangka, tidak suka memata-matai, dan tidak berlebihan.
5. Suami yang memberikan belanja yang cukup kepada istri, tidak boros, dan tidak pula bakhil.
6. Suami yang selalu tampil di muka istrinya dengan rapi dan meyakinkan. Ia selalu menjaga penampilan dan kebersihannya, sehingga yang tercium darinya hanyalah bau harum semerbak.
7. Suami yang senantiasa menjaga rahasia rumah tangga. Hal ini mencegah orang-orang sekitarnya menggunjing keluarga mereka.
8. Suami yang senantiasa menjaga kejantanannya, baik secara fisik maupun psikis, sehingga memancarkan kewibawaan.
Istri adalah rabbatul bait (Pembina rumah tangga). Pembina bagi istri amat diperlukan untuk menjaga sosok ideal yang layak diteladani. Bagi para ibu inilah, banyak beban ditanggungkan, sehingga digambarkan surga terletak di bawah telapak kakinya.
Syaikh Muhammad saw Utsman Al-Khusyt juga memberikan beberapa kriteria istri teladan, agar dijadikan acuan bagi para istri. Menurut beliau, karakter istri teladan antara lain:
1. Istri yang senantiasa memperhatikan kebersihan, baik dirinya sendiri, suami, anak-anak, maupun tempat tinggalnya.
2. Istri yang senantiasa taat kepada suami, selama suami tidak dalam kemaksiatan.
3. Istri yang mendidik sendiri anak-anak mereka, tidak menyerahkan kepada orang lain.
4. Istri yang merasa cukup bahagia dengan pemberian suaminya. Tidak menuntut suami untuk melakukan hal-hal yang dilaur batas kemampuannya. Ia harus pandai mengatur kebutuhna rumah tangga, sehingga apa yang diberikan suami bisa cukup.
5. Istri yang berakhlak mulia dan selalu tampil di setiap kesempatan dalam keadaan baik. Perkataan dan pembicaraannya senantiasa menyenangkan suami.
6. Istri yang selalu menjaga perasaan suami, serta merasa selalu senasib dan sepenanggungan. Untuk tujuan ini, istri bahkan diperkenankan berlaku tidak jujur, selama hal itu dilakukan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga dan memperkuat ikatan cinta dalam keluarga.
7. Istri yang selalu berterima kasih dengan apa yang dilakukan suami, sehingga hal ini mendorong suami untuk berbuat lebih baik lagi bagi keluarganya.
[1] Lihat QS An-Nur (24) ayat: 31
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
[2] Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak bersama Nabi saw, penerjemah Salafudin Abu Sayyid, Solo: Pustaka Arafah, 2003. Hal. 24-30
Komentar
Posting Komentar